Bayangan Semar di Kaki Gunung Lawu – Dendam Itu Tuli (3)

“Sebentar guru. Cerita guru belum selesai mengenai Gunung Lawu. Ceritakan dulu guru..kepalang basah, nanti saya tidak bisa tidur guru memikirkan gunung Lawu..”, kata Arya Kayana sambil tertawa lirih.

“Kau itu Kayana Kayana…baiklah sampai mana tadi ceritaku”.

“Sampai arti Wukir Mahendra Guru”, jawab Arya Kayana.

“Iya, Wukir Mahendra artinya Gunung yang pertama. Menurut legenda, Gunung Lawu adalah gunung yang pertama kali ada di pulau Jawa. Sejak dahulu kala, gunung ini menyimpan aroma mistis yang luar biasa…. “, orang tua itu berhenti sejenak.

“Karena kewibawaannya, gunung ini menjadi tempat para raja dan pendekar pilih tanding untuk bersemedi, mengadakan lelaku menurut kepercayaan mereka. Tempat yang dianggap sangat cocok untuk melakukan ritual demi meningkatkan kemampuan baik kemampuan fisik maupun rohani.”

“Maksudnya Guru…”, Arya Bertanya dengan heran.

“Yah dipuncak lawu terdapat sebuah tempat yang disebut Hargo Dumilah. Ditempat inilah para raja dan para pendekar pilih tanding bersemedi untuk meningkatkan kemampuannya. Mereka berharap bahwa dengan bersemedi disana mereka akan mendapatkan kewibawaan atau ilmu yang digdaya. Ilmu yang menggetarkan ilmu yang tak tertakalahkan”.

“Luar Biasa…Tapi guru, bukankah kita tidak boleh meminta sesuatu selain kepada Gusti Allah..”, tanya Arya kayana dengan heran.

Orang tua itu tersenyum.

“Benar Kayana.. kita memang mempunyai keyakinan yang berbeda dengan yang mereka lakukan. Kita hanya berharap dan meminta sesuatu kepada Gusti Pangeran, Gusti Allah. Kita tidak boleh menyembah selain Gusti Allah. Itu sangat terlarang dalam Agama yang kita yakini..”, orang tua itu melanjutkan perkataannya.

“Terus eyang..apakah lelaku lelaku mereka itu membuahkan hasil..”, tanya Arya Kayana.

“Yah, sebagian dari mereka berhasil..”, jawab orang tua itu.

“Tapi bukankah mereka meminta kepada makhluk gaib disana. Bukankah menurut agama yang kita yakini hal itu terlarang..”, kejar Aryana Kayana.

“Benar Ngger, tapi itulah memang ujian Gusti Allah kepada hambaNya. Kadang dengan menggunakan hal yang salah, kita justru mendapatkan apa yang kita inginkan. Itu ujian. Kalau kita terlena maka kita akan semakin terlena…”

Orang tua itu memegangi jenggotnya yang terurai tertiup angin. Kepalanya sedikit menunduk wajahnya kelihatan menunjukkan guratan kesedihan dan penyesalan.

“Ngger Arya Kayana.. dari puncak Gunung itulah dahulu lahir tokoh tokoh sakti, pendekar pilih tanding yang melanglang buana di jagad persilatan.”, berkata orang tua itu sambil menunjuk ke puncak gunung Lawu dengan tongkatnya.

“Beberapa diantaranya masih hidup sampai saat ini”, lanjut orang tua itu.

“Dan salah satunya adalah Kiai Alas Jabungan…”, tebak Arya Kayana.

Orang tua itu terdiam.

“Guru, selain guru, siapa lagi tokoh persilatan yang masih hidup??”, tanya Arya kayana penasaran.

Orang tua yang ternyata Kiai Alas Jabungan itu terdiam.

“Entahlah..”, desisnya perlahan.

“Tapi yang pasti mereka kebanyakan adalah tokoh aliran hitam. Hanya beberapa yang berhasil menjaga hati dan jiwanya sehingga berhasil menundukkan para dedemit yang menggoda sehingga bisa menjadi pendekar aliran putih. Aku tidak tahu siapa diantara mereka yang masih hidup. Tapi…”, Kiai Alas Jabungan terdiam.

“Tapi apa Guru??”, tanya Arya Kayana semakin penasaran.

“Sudahlah…sekarang lihatlah padepokan ini”, berkata kiai alas Jabungan sambil melihat sekelilingnya.

“Bersyukurlah karena Gusti Pangeran masih melindungi kita. Jika tadi malam engkau tidak sedang terjaga dan berjalan-jalan di luar entah apa jadinya isi padepokan ini”, Kiai Alas Jabungan mendesah perlahan.

“Iya guru, agaknya mereka tidak melihat saya karena malam memang cukup gelap”, jawab Arya Kayana.

“lalu bagaimana engkau bisa mengetahui serangan mereka dan membangunkan kita semua”, tanya kiai alas jabungan penasaran.

Arya Kayana terdiam sebentar kemudian berkata “agaknya mereka juga terlalu ceroboh. Penyerangan itu dilakukan dengan tergesa-gesa dan tanpa gelar. Agaknya hanya dendam dan sakit hati yang melandasi serangan itu. Begitu datang mereka langsung merusak pagar utara dan membakar gedhogan. Sehingga kudapun meringkik. Sebenarnya saya ingin langsung menghadang mereka namun kemudian saya berfikir untuk membangunkan guru dan Candana Wuni”.

“Tindakanmu sudah benar Kayana. Agaknya mereka terlalu percaya diri sehingga menyerang membabi buta tanpa rencana matang. Orang yang mungkin hampir seumuranku berambut putih berjenggot panjang itulah kiranya yang membuat Santana begitu percaya diri”

“Agaknya orang itu memiliki ilmu hampir menyamai guru..”

“Apakah mereka akan kembali lagi guru”

“Mungkin…” Desah Kiai Alas Jabungan perlahan. Mereka kemudian terdiam beberapa saat. Sepertinya Kiai Jabungan sedang berfikir.

“Arya Kayana..kita ke pendopo. Panggil Candana Wuni..”.

“Baik Guru..”. Arya Kayana mengangguk dan segera berjalan meninggalkan gurunya untuk mencari Candana Wuni. Candana Wuni ternyata sedang berada di belakang pendopo. Memasak dengan beberapa emban untuk kebutuhan seisi padepokan.

Sebelum ke pawonan, Arya kayana pergi mendapati para cantrik yang sedng membersihkan puing-puing sisa kebakaran dan memberikan beberapa arahan. Setelah selesai kemudian diapun pergi ke pawonan untuk menjemput dan mengajak Candana Wuni ke pendopo.

“Duduklah Kayana, Wuni…”. Arya kayana dan Candana Wuni segera duduk di tikar pandan dihadapan Kiai Alas Jabungan.

“Kayana, bagaimana dengan pekerjaan para cantrik membersihkan dan membangun kembali sanggar dan gedhogan?”.

“Sendiko Guru, Sebagian cantrik saya perintahkan membersihkan reruntuhan sedang sebagian lain saya suruh menebang pohon di hutan untuk membuat sanggar dan gedhogan baru”.

“bagaimana dengan kuda-kuda kita…?”

“Masih dicari para cantrik guru.. yang tersisa tinggal 3 ekor.. Mudah-mudahan kuda itu tidak pergi terlalu jauh…”

Kiai Alas Jabungan mendesah perlahan. “Aku benar-benar tidak menyangka bahwa Kidang Santana akan menjadi seperti itu. Sakit hati itu telah menutup mata hatinya. Dan agaknya ia semakin terjerumus ketika ternyata ia menemukan teman yang salah dalam pengembaraannya..”.

Arya Kayana dan Candana Wuni hanya menunduk. Terbersit kesedihan di wajah Candana Wuni. Dia sebenarnya sangat sayang kepada Kidang Santana. Dia telah menganggapnya sebagai seorang kakak tidak lebih dari itu. Namun ternyata Santana telah salah paham menanggapi sikap Candana Wuni.

(Bersambung)

4 thoughts on “Bayangan Semar di Kaki Gunung Lawu – Dendam Itu Tuli (3)

  1. Menarik untuk ditunggu lanjutannya, mengingatkan pada cerita klasik tulisan SH Mintardja…

    1. Yah benar, cerita sekedarnya itu saya tulis karena terinspirasi oleh sang maestro cerita silat, SH Mintardja. Yah sekedar bisa dijadikan intermeso saja lah

Leave a reply to Arda raja Cancel reply