Bayangan Semar di Kaki Gunung Lawu – Dendam Itu Tuli (1)

Langit masih berwarna merah ketika puluhan ekor kuda berlari meninggalkan sebuah padepokan yang sebagian bangunannya terbakar. Terdengar tawa yang mengelegar dari penunggang kuda yang berada paling depan. Dalam siraman cahaya bulan yang mengintip lewat awan, terlihat bahwa penunggang kuda yang kelihatannya sebagai pemimpin gerombolan berkuda itu adalah seorang pemuda berbadan tegap. Gagah namun mempunyai tawa yang cukup menggetarkan bahkan cenderung menakutkan.

“Jangan Kayana..!!, tiba-tiba terdengar teriakan serak diantara cantrik-cantrik padepokan yang sibuk memadamkan api. “Jangan kau kejar gerombolan itu…!!”.

Mendengar teriakan dan sekaligus perintah itu, maka seorang pemuda yang bersiap akan memacu kudanya tiba-tiba menoleh ke belakang sekaligus menarik tali kudanya. Kuda itupun meringkik keras dan mengangkat kedua kaki depannya.

“Kenapa guru…”, teriak pemuda itu. “Dia telah mencoba menghancurkan padepokan kita dan juga mencorengkan arang hitam pada nama baik padepokan ini..”.

Diatas kuda dan diterangi oleh api yang menjilat-jilat pemuda itu tampah gagah. Dengan sorot mata tajam setajam rajawali dia pandangi orang tua yang berdiri tegak beberapa langkah darinya.

“Sudahlah nanti aku jelaskan.. biarlah dia pergi”, berkata orang tua itu sambil memandang sekelilingnya. Terlihat api masih berkobar di beberapa tempat.

“Yang terpenting adalah keselamatan isi padepokan ini. Bantu padamkan api itu.. perbaiki dan bangun kembali padepokan ini. Urusan dia kita bicarakan nanti…”.

Pemuda itu tampak ragu-ragu, namun kemudian dengan perlahan menganggukkan kepalanya. Dia kemudian turun dari kudanya, mengikatnya pada sebatang pohon. Ia melihat sekelilingnya. Dengan dada yang bergolak karena marah dilihatnya beberapa bangunan telah rubuh dan menyisakan bara dan api kecil diatasnya.

Ternyata para cantrik tidak kuasa melawan api yang berkobar. Mereka hanya bisa memandang beberapa bangunan di padepokan itu dimakan api. Mereka benar-benar tidak menyangka akan mendapat serangan seperti itu. Selama ini mereka hidup tenteram di padepokan itu. Mereka tidak mempunyai musuh karena padepokan itu memang menjunjung tinggi kedamaian.

Tidak ada korban nyawa dalam peristiwa penyerangan itu. Hanya beberapa korban luka dan beberapa bangunan yang tidak bisa diselamatkan karena dibakar para penyerang. Para cantrik tidak mengerti siapa yang telah menyerang mereka dan apa tujuan gerombolan itu menyerang padepokan mereka.

Ditengah kegelisahan di hati para cantrik yang termenung menatap api yang semakin kecil tiba-tiba terdengar suara seorang perempuan yang seperti menyadarkan lamunan mereka.

“Kalian.. biarkan bangunan itu.. sudah tidak mungkin diselamatkan. pergi ke pendopo dan bantu teman-teman kalian merawat yang luka..”.

Tanpa menunggu perintah kedua, maka para cantrik yang masih berusaha memadamkan api, segera berlari ke pendopo meninggalkan bangunan-bangunan yang sekarang tinggal seonggok arang dengan bara yang menyala diantaranya.

Perempuan yang ternyata masih gadis muda itu mendesah pelan. “Kenapa mereka menyerang padepokan ini…apa salah padepokan ini”. Di tengah kobaran api yang menyala di beberapa bangunan, gadis itu masih berdiri termenung sesaat memandang sekelilingnya. Rambutnya yang terlihat cukup panjang terurai indah diterpa angin malam.

Beberapa saat kemudian, dengan langkah gontai gadis itu berjalan ke arah pendopo yang terletak ditengah-tengah padepokan.

“Wuni…”.

Perempuan yang dipanggil Wuni itu menoleh.

“Kakang Arya Kayana… Bagaimana dengan ….”.

“Sebentar lagi fajar Wuni..”, Arya Kayana bergumam lirih memotong kata kata gadis yang dipanggil Wuni dan seakan tidak menghiraukan pertanyaan gadis itu.

Pemuda yang dipanggil dengan nama Arya Kayana itu mendesah pelan, dia mendongak, menatap langit yang mulai dihiasi oleh warna merah.

“Kakang tidak menjawab pertanyaanku..”, gadis itu mendesis lirih.

“Sudahlah Candana Wuni… nanti akan kita bicarakan dengan Eyangmu setelah kita membersihkan kembali padepokan ini. Sekarang marilah kita ke pendopo. Eyangmu sudah menunggu di sana..”.

“Baik kakang..”.

Kemudian merekapun berjalan beriringan menuju pendopo. Di tengah pendopo terlihat seorang tua yang terlihat serius merawat seorang cantrik. Di temaram cahaya lampu tempel di dinding, terlihat orang tua itu mempunyai jenggot yang cukup panjang. Rambut dan jenggotnya sudah putih semua. Sebuah tongkat berada di genggaman tangan kanannya. Tongkat yang cukup aneh. Orang tua tersebut adalah Guru Arya Kayana yang sekaligus Kakek dan guru dari Candana Wuni.

“Guru”, panggil Arya Kayana kepada orang tua itu.

Suara lirih Arya Kayana membuat orang tua yang dipanggil Guru itu menoleh perlahan. Jari teluncuknya ditempelkan di bibir memberi isyarat agar Arya Kayana dan Candana Wuni untuk diam dulu. Kemudian jari teluncuk itu menunjuk mengarah ke sekililing pendopo. Arya Kayana dan Candana Wuni mengerti arti isyarat itu. Mereka kemudian berjalan ke sekeliling pendopo untuk melihat dan membantu para cantrik yang terluka.

Setelah melihat mereka yang terluka dan memastikan mereka mendapat perawatan yang baik maka Arya Kayana dan Candana Wuni mendekati orang tua yang sekarang telah duduk bersandar pada tiang di tengah pendopo. Matanya menerawang, terlihat gurat kesedihan di wajahnya.

“Eyang”, desis Candana Wuni lirih.

Orang tua itu menoleh. Dia tersenyum.

“Sudah waktunya Subuh Eyang. Kita sholat dulu”, berkata Arya Kayana.

Orang tua itu mengangguk.

Dengan lirih, orang tua itu bergumam “Astaqfirullah, Ampuni kami ya Rabbi… Berat juga cobaan ini. Hamba tidak menyangka hal ini bisa terjadi. Ya Rabbi jadikan kami termasuk hamba hambaMu yang senantiasa bersyukur apapun yang kau tetapkan atas diri kami dan jadikan kami senantiasa sabar diatas jalanMu. Astaqfirullah…”..

Kemudian dengan isyarat, orang tua itu mengajak mengajak mereka yang berada di pendopo untuk sholat berjamaah secara bergantian di mesjid padepokan. Untunglah bahwa mesjid itu luput dari pembakaran.

(Bersambung)

Leave a comment